Sejarah Perpustakaan di Indonesia 1
Sejarah perpustakaan di Indonesia
tergolong masih muda jika dibandingkan dengan negara Eropa dan Arab.
Jika kita mengambil pendapat bahwa sejarah perpustakaan ditandai dengan
dikenalnya tulisan, maka sejarah perpustakaan di Indonesia dapat dimulai
pada tahun 400-an yaitu saat lingga batu dengan tulisan Pallawa
ditemukan dari periode Kerajaan Kutai.
Musafir Fa-Hsien dari tahun 414
Menyatakan bahwa di kerajaan Ye-po-ti, yang sebenarnya kerajaan
Tarumanegara banyak dijumpai kaum Brahmana yang tentunya memerlukan buku
atau manuskrip keagamaan yang mungkin disimpan di kediaman pendeta.
Pada sekitar tahun 695 M, menurut
musafir I-tsing dari Cina, di Ibukota Kerajaan Sriwijaya hidup lebih
dari 1000 orang biksu dengan tugas keagamaan dan mempelajari agama Budha
melalui berbagai buku yang tentu saja disimpan di berbagai biasa.
Di pulau Jawa, sejarah perpustakaan
tersebut dimulai pada masa Kerajaan Mataram. Hal ini karena di kerajaan
ini mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra.
Karya-karya tersebut seperti Sang Hyang Kamahayanikan yang
memuat uraian tentang agama Budha Mahayana. Menyusul kemudian Sembilan
parwa sari cerita Mahabharata dan satu kanda dari epos Ramayana. Juga
muncul dua kitab keagamaan yaitu Brahmandapurana dan Agastyaparwa. Kitab lain yang terkenal adalah Arjuna Wiwaha yang digubah oleh Mpu Kanwa.
Dari uraian tersebut nyata bahwa sudah
ada naskah yang ditulis tangan dalam media daun lontar yang
diperuntukkan bagi pembaca kalangan sangat khusus yaitu kerajaan.
Jaman Kerajaan Kediri dikenal beberapa
pujangga dengan karya sastranya. Mereka itu adalah Mpu Sedah dan Mpu
Panuluh yang bersama-sama menggubah kitab Bharatayudha. Selain itu Mpu panuluh juga menggubah kitab Hariwangsa dan kitab Gatotkacasrayya. Selain itu ada Mpu Monaguna dengan kitab Sumanasantaka dan Mpu Triguna dengan kitam Kresnayana.
Semua kitab itu ditulis diatas daun
lontar dengan jumlah yang sangat terbatas dan tetap berada dalam
lingkungan keraton. Periode berikutnya adalah Kerajaan Singosari. Pada
periode ini tidak dihasilkan naskah terkenal. Kitab Pararaton yang terkenal itu diduga ditulis setelah keruntuhan kerajaan Singosari.
Pada jaman Majapahit dihasilkan dihasilkan buku Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca. Sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Pada jaman ini dihasilkan pula karya-karya lain seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Ranggalawe, Sorandaka, dan Sundayana.
Kegiatan penulisan dan penyimpanan
naskah masih terus dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar
di Nusantara. Misalnya, jaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta
Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Demak, Banten, Melayu, Jambi,
Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa.
Dari Cerebon diketahui dihasilkan puluhan buku yang ditulis sekitar abad ke-16 dan ke-17. Buku-buku tersebut adalah Pustaka Rajya-rajya & Bumi Nusantara (25 jilid), Pustaka Praratwan (10 jilid), Pustaka Nagarakretabhumi (12 jilid), Purwwaka Samatabhuwana (17 jilid), Naskah hukum (2 jilid), Usadha (15 jilid), Naskah Masasastra (42 jilid), Usana (24 jilid), Kidung (18 jilid), Pustaka prasasti (35 jilid), Serat Nitrasamaya pantara ning raja-raja (18 jilid), Carita sang Waliya (20 jilid), dan lainlain.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
Cirebon merupakan salah satu pusat perbukuan pada masanya. Seperti pada
masa-masa sebelumnya buku-buku tersebut disimpan di istana.
Kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16
membawa budaya tersendiri. Perpustakaan mulai didirikan mula-mula untuk
tujuan menunjang program penyebaran agama mereka.
Berdasarkan sumber sekunder perpustakaan paling awal berdiri pada masa ini adalah pada masa VOC (Vereenigde OostJurnal Indische Compaqnie) yaitu perpustakaan gereja di Batavia (kini Jakarta) yang dibangun sejak 1624.
Namun karena beberapa kesulitan
perpustakaan ini baru diresmikan pada 27 April 1643 dengan penunjukan
pustakawan bernama Ds. (Dominus) Abraham Fierenius. Pada masa inilah
perpustakaan tidak lagi diperuntukkan bagi keluarga kerajaan saja, namun
mulai dinikmati oleh masyarakat umum.
Perpustakaan meminjamkan buku untuk
perawat rumah sakit Batavia, bahkan peminjaman buku diperluas sampai ke
Semarang dan Juana (Jawa Tengah). Jadi pada abad ke-17 Indonesia sudah
mengenal perluasan jasa perpustakaan (kini layanan seperti ini disebut
dengan pinjam antar perpustakaan atau interlibrary loan).
Lebih dari seratus tahun kemudian berdiri perpustakaan khusus di Batavia. Pada tanggal 25 April 1778 berdiri Bataviaasche Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW)
di Batavia. Bersamaan dengan berdirinya lembaga tersebut berdiri pula
perpustakaan lembaga BGKW. Pendirian perpustakaan lembaga BGKW tersebut
diprakarsai oleh Mr. J.C.M.
Rademaker, ketua Raad van Indie (Dewan
Hindia Belanda). Ia memprakarsai pengumpulan buku dan manuskrip untuk
koleksi perpustakaannya. Perpustakaan ini kemudian mengeluarkan katalog
buku yang pertama di Indonesia yaitu pada tahun 1846 dengan judul Bibliotecae Artiumcientiaerumquae Batavia Florest Catalogue Systematicus hasil
suntingan P. Bleeker. Edisi kedua terbit dalam bahasa Belanda pada
tahun 1848. Perpustakaan ini aktif dalam pertukaran bahan perpustakaan.
Penerbitan yang digunakan sebagai bahan pertukaran adalah Tijdschrift
voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, Verhandelingen van het
Bataviaasch Genootschapn van Kunsten en Wetenschappen, Jaarboek serta Werken buiten de Serie.
Karena prestasinya yang luar biasa dalam meningkatkan ilmu dan kebudayaan, maka namanya ditambah menjadi Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Nama ini kemudian berubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada tahun 1950.
Pada tahun 1962 Lembaga Kebudayaan
Indonesia diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia dan namanyapun
diubah menjadi Museum Pusat. Koleksi perpustakaannya menjadi bagian
dari Museum Pusat dan dikenal dengan Perpustakaan Museum Pusat. Nama
Museum Pusat ini kemudian berubah lagi menjadi Museum Nasional,
sedangkan perpustakaannya dikenal dengan Perpustakaan Museum Nasional.
Pada tahun 1980 Perpustakaan Museum
Nasional dilebur ke Pusat Pembinaan Perpustakaan. Perubahan terjadi lagi
pada tahun 1989 ketika Pusat Pembinaan Perpustakaan dilebur sebagai
bagian dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Sesudah pembangunan BKGW, berdirilah
perpustakaan khusus lainnya seiring dengan berdirinya berbagai lembaga
penelitian maupun lembaga pemerintahan lainnya.
Sebagai contoh pada tahun 1842 didirikan Bibliotheek’s Lands Plantentuin te Buitenzorg. Pada tahun 1911 namanya berubah menjadi Central Natuurwetenchap-pelijke Bibliotheek van het Departement van Lanbouw, Nijverheid en Handel. Nama ini kemudian berubah lagi menjadi Bibliotheca Bogoriensis.
Tahun 1962 nama ini berubah lagi menjadi Pusat Perpustakaan Penelitian
Teknik Pertanian, kemudian menjadi Pusat Perpustakaan Biologi dan
Pertanian.
Perpustakaan ini berubah nama kembali
menjadi perpustakaan ini bernama Perpustakaan Pusat Pertanian dan
Komunikasi Penelitian. Kini perpustakaan ini bernama Pusat Perpustakaan
dan Penyebaran Hasil-hasil Penelitian.
Setelah periode tanam paksa, pemerintah
Hindia Belanda menjalankan politik etis untuk membalas ”utang” kepada
rakyat Indonesia. Salah satu kegiatan politik etis adalah pembangunan
sekolah rakyat.
Dalam bidang perpustakaan sekolah, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Volksbibliotheek atau terjemahan dari perpustakaan rakyat, namun pengertiannya berbeda dengan pengertian perpustakaan umum. Volksbibliotheek artinya perpustakaan yang didirikan oleh Volkslectuur (kelak berubah menjadi Balai Pustaka), sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Volkschool.
Volkschool artinya sekolah rakyat yang
menerima tamatan sekolah rendah tingkat dua. Perpustakaan ini melayani
murid dan guru serta menyediakan bahan bacaan bagi rakyat setempat.
Murid tidak dipungut bayaran, sedangkan masyarakat umum dipungut bayaran
untuk setiap buku yang dipinjamnya.
Kalau pada tahun 1911 pemerintah Hindia Belanda mendirikan Hindia Belanda mendirikan Indonesische Volksblibliotheken, maka pada tahun 1916 didirikan Nederlandsche Volksblibliotheken yang digabungkan dalam Holland-Inlandsche School (H.I.S). H.I.S. merupakan sejenis sekolah lanjutan dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda.
Tujuan Nederlandsche Volksblibliotheken adalah
untuk memenuhi keperluan bacaan para guru dan murid. Di Batavia
tercatat beberapa sekolah swasta, diantaranya sekolah milik Tiong Hoa,
Hwe Koan, yang memiliki perpustakaan. Sekolah tersebut menerima bantuan
buku dari Commercial Press (Shanghai) dan Chung Hua Book Co. (Shanghai).
Sebenarnya sebelum pemerintah Hindia
Belanda mendirikan perpustakaan sekolah, pihak swasta terlebih dahulu
mendirikan perpustakaan yang mirip dengan pengertian perpustakaan umum
dewasa ini. Pada tahun awal tahun 1910 berdiri Openbare leeszalen. Istilah ini mungkin dapat diterjemahkan dengan istilah ruang baca umum. Openbare leeszalen ini didirikan oleh antara lain Loge der Vrijmetselaren, Theosofische Vereeniging, dan Maatschappij tot Nut van het Algemeen.
Perkembangan Perpustakaan Perguruan
Tinggi di Indonesia dimulai pada awal tahun 1920an yaitu mengikuti
berdirinya sekolah tinggi, misalnya seperti Geneeskunde Hoogeschool di Batavia (1927) dan kemudian juga di Surabaya dengan STOVIA; Technische Hoogescholl di Bandung (1920), Fakultait van Landbouwwentenschap (er Wijsgebeerte Bitenzorg, 1941), Rechtshoogeschool di Batavia (1924), dan Fakulteit van Letterkunde di Batavia (1940). Setiap sekolah tinggi atau fakultas itu mempunyai perpustakaan yang terpisah satu sama lain.
Pada jaman Hindia Belanda juga berkembang sejenis perpustakaan komersial yang dikenal dengan nama Huurbibliotheek atau
perpustakaan sewa. Perpustakaan sewa adalah perpustakaan yang
meminjamkan buku kepada kepada pemakainya dengan memungut uang sewa.
Pada saat itu tejadi persaingan antara Volksbibliotheek dengan Huurbibliotheek.
Sungguhpun demikian dalam prakteknya terdapat perbedaan bahan bacaan yang disediakan. Volksbibliotheek lebih banyak menyediakan bahan bacaan populer ilmiah, maka perpustakaan Huurbibliotheek lebih
banyak menyediakan bahan bacaan berupa roman dalam bahasa Belanda,
Inggris, Perancis, buku remaja serta bacaan gadis remaja.
Disamping penyewaan buku ter-dapat
penyewaan naskah, misalnya penulis Muhammad Bakir pada tahun 1897
mengelola sebuah perpustakaan sewaan di Pecenongan, Jakarta. Jenis sewa
Naskah juga dijumpai di Palembang dan Banjarmasin. Naskah disewakan pada
umumnya dengan biaya tertentu dengan disertai permohonan kepada
pembacanya supaya menangani naskah dengan baik.
Disamping perpustakaan yang didirikan
oleh Pemerintah Hindia Belanda, sebenarnya tercatat juga perpustakaan
yang didirikan oleh orang Indonesia. Pihak Keraton Mangkunegoro
mendirikan perpustakaan keraton sedangkan keraton Yogyakarta mendirikan
Radyo Pustoko.
Sebagian besar koleksinya adalah naskah
kuno. Koleksi perpustakaan ini tidak dipinjamkan, namun boleh dibaca di
tempat. Pada masa penjajahan Jepang hampir tidak ada perkembangan
perpustakaan yang berarti. Jepang hanya mengamankan beberapa gedung
penting diantaranya Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen.
Selama pendudukan Jepang openbare leeszalen ditutup. Volkbibliotheek dijarah oleh rakyat dan lenyap dari permukaan bumi. Karena pengamanan yang kuat pada gedung Bataviaasch Genootschap van Kunten Weetenschappen maka koleksi perpustakaan ini dapat dipertahankan, dan merupakan cikal bakal dari Perpustakaan Nasional.
Perkembangan pasca kemerdekaan mungkin
dapat dimulai dari tahun 1950an yang ditandai dengan berdirinya
perpustakaan baru. Pada tanggal 25 Agustus 1950 berdiri perpustakaan
Yayasan Bung Hatta dengan koleksi yang menitikberatkan kepada
pengelolaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Indonesia.
Tanggal 7 Juni 1952 perpustakaan Stichting voor culturele Samenwerking,
suatu badan kerjasama kebudayaan antara pemerintah RI dengan pemerintah
Negeri Belanda, diserahkan kepada pemerintah RI. Kemudian oleh
Pemerintah RI diubah menjadi Perpustakaan Sejarah Politik dan Sosial
Departemen P & K.
Dalam rangka usaha melakukan
pemberantasan buta huruf di seluruh pelosok tanah air, telah didirikan
Perpustakaan Rakyat yang bertugas membantu usaha Jawatan Pendidikan
Masyarakat melakukan usaha pemberantasan buta huruf tersebut. Pada
periode ini juga lahir perpustakaan Negara yang berfungsi
sebagaiperpustakaan umum dan didirikan di Ibukota Propinsi.
Perpustakaan Negara yang pertama
didirikan di Yogyakarta pada tahun 1949, kemudian disusul Ambon (1952);
Bandung (1953); Ujung Pandang (1954); Padang (1956); Palembang (1957);
Jakarta (1958); Palangkaraya, Singaraja, Mataram, Medan, Pekanbaru dan
Surabaya (1959). Setelah itu menyusul kemudian Perpustakaan Nagara di
Banjarmasin (1960); Manado (1961); Kupang dan Samarinda (1964).
Perpustakaan Negara ini dikembangkan
secara lintas instansional oleh tiga instansi yaitu Biro Perpustakaan
Departemen P & K yang membina secara teknis, Perwakilan Departemen P
& K yang membina secara administratif, dan Pemerintah Daerah
Tingkat Propinsi yang memberikan fasilitas.
Daftar Pustaka
- Nurhadi (1979). Perpustakaan Tertua di Indonesia: sebuah tanggapan terhadap tulisan Sulistyo-Basuki. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, vol. 5, no. 1-2.
- Sulistyo-Basuki (1978). Uraian Singkat tentang Sejarah Perpustakaan di Indonesia. Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia, vol. 5, no. 1-2.
- Sulistyo-Basuki (1994). Periodisasi Perpustakaan Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.
- Tjoen, Mohamad Joesoef dan S. Pardede (1966). Perpustakaan di Indonesia dari dari Zaman ke zaman. Jakarta: Kantor Bibliografi Nasional, Departemen P.D. dan K.
- (Ditulis oleh: Abdul Rahman Saleh sebagai kontribusi untuk Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Perpustakaan).
Post a Comment