MENULIS CERPEN
Menulislah
pada saat awal dengan hati.
Setelah itu, perbaiki tulisan Anda dengan pikiran.
Kunci pertama dalam menulis adalah bukan berpikir,
melainkan mengungkapkan apa saja yang dirasakan.”
- William Forrester –
Pengertian Umum Cerpen
Sebenarnya, tidak ada rumusan yang baku mengenai apa itu cerpen. Kalangan
sasterawan memiliki rumusan yang tidak sama. H.B. Jassin –Sang Paus Sastra
Indonesia- mengatakan bahwa yang disebut cerita pendek harus memiliki bagian
perkenalan, pertikaian, dan penyelesaian. A. Bakar Hamid dalam tulisan
“Pengertian Cerpen” berpendapat bahwa yang disebut cerita pendek itu harus
dilihat dari kuantitas, yaitu banyaknya perkataan yang dipakai: antara
500-20.000 kata, adanya satu plot, adanya satu watak, dan adanya satu kesan.
Sedangkan Aoh. KH, mendefinisikan bahwa cerpen adalah salah satu ragam fiksi
atau cerita rekaan yang sering disebut kisahan prosa pendek. Dan masih banyak
sastrawan yang merumuskan definisi cerpen. Rumusan-rumusan tersebut tidak sama
persis, juga tidak saling bertentangan satu sama lain. Hampir semuanya
menyepakati pada satu kesimpulan bahwa cerita pendek atau yang biasa disingkat
cerpen adalah cerita rekaan yang pendek.
Dari beberapa buku dan uraian yang layak dijadikan pedoman, tampaknya pendapat
pakar cerita pendek dunia, Edgar Allan Poe, sangat cocok menjadi panduan-
karena secara teoritis ia memenuhi kriteria ilmiah, tetapi secara praktis ia
dapat diaplikasikan. Pendapat yang dirinci Muhammad Diponegoro dalam bukunya
Yuk, Nulis Cerpen Yuk disederhanakan sebagai berikut:
Pertama, cerita pendek harus pendek. Seberapa pendeknya? Sebatas rampung baca
sekali duduk menunggu bus atau kereta api, atau sambil antre karcis bioskop.
Disamping itu ia juga harus memberi kesan secara terus-menerus hingga kalimat
terakhir, berarti cerita pendek harus ketat, tidak mengobral detail, dialog
hanya diperlukan untuk menampakkan watak, atau menjalankan cerita atau
menampilkan problem.
Kedua, cerita pendek mengalir dalam arus untuk menciptakan efek tunggal dan
unik. Menurut Poe ketunggalan pikiran dan aksi bisa dikembangkan lewat satu
garis dari awal sampai akhir. Di dalam cerita pendek tak dimungkinkan terjadi
aneka peristiwa digresi.
Ketiga, cerita pendek harus ketat dan padat. Setiap detil harus mengarus pada
pada satu efek saja yang berakhir pada kesan tunggal. Oleh sebab itu
ekonomisasi kata dan kalimat – sebagai salah satu ketrampilan yang dituntut
bagi seorang cerpenis.
Keempat, cerita pendek harus mampu meyakinkan pembacanya bahwa ceritanya
benar-benar terjadi, bukan suatu bikinan, rekaan. Itulah sebabnya dibutuhkan
suatu ketrampilan khusus, adanya konsistensi dari sikap dan gerak tokoh, bahwa
mereka benar-benar hidup, sebagaimana manusia yang hidup.
Kelima, cerita pendek harus menimbulkan kesan yang selesai, tidak lagi mengusik
dan menggoda, karena ceritanya seperti masih berlanjut. Kesan selesai itu
benar-benar meyakinkan pembaca, bahwa cerita itu telah tamat, sampai titik
akhirnya, tidak ada jalan lain lagi, cerita benar-benar rampung berhenti di
situ.
Rumusan Poe inilah –saya sepakat dengan Korrie Layun Rampan- sesungguhnya yang
cukup bisa mewakili pengertian cerita pendek secara umum.
II. Karakteristik Cerpen
Gambaran umum karakteristik cerpen bisa ditangkap dalam rumusan Edgar Alan Poe,
di atas. Untuk mempertegas perbedaan cerpen dengan novel, Ismail Marahimin,
dalam Menulis Secara Populer menjelaskan bahwa cerpen memang harus pendek dan
singkat. Sedangkan cerita rekaan yang panjang adalah novel. Apa ukuran
panjang-pendek suatu cerpen itu? Jumlah halamannyakah? Jumlah kata-katanyakah?
Menjawab hal ini, rumusan Poe cukup menjelaskan. Meskipun ada yang berpendapat
jumlah katanya tidak lebih dari 10.000 kata (The Liang Gie). Ada yang membatasi
jumlah katanya antara 500 – 30.000 kata (Helvy Tiana Rosa).
Yang jelas, karakteristik utama cerpen adalah pendek dan singkat. Di dalam
cerita yang singkat itu, tentu saja tokoh-tokoh yang memegang peranan tidak
banyak jumlahnya, bisa jadi hanya seorang, atau bisa juga sampai sekitar empat
orang paling banyak. Itu pun tidak seluruh kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh
itu diungkapkan di dalam cerita. Fokus atau, pusat perhatian, di dalam cerita
itu pun hanya satu. Konfliknya pun hanya satu, dan ketika cerita itu dimulai,
konflik itu sudah hadir di situ. Tinggal bagaimana menyelesaikan saja.
Karena pendeknya, kita biasanya tidaklah menemukan adanya perkembangan di dalam
cerita. Tidak ada cabang-cabang cerita. Tidak ada kelebatan-kelebatan pemikiran
tokoh-tokohnya yang melebar ke pelbagai hal dan masalah. Peristiwanya singkat
saja. Kepribadian tokoh, atau tokoh-tokoh, pun tidak berkembang, dan kita tidak
menyaksikan adanya perubahan nasib tokoh, atau tokoh-tokoh ini ketika cerita
berakhir. Dan ketika konfik yang satu itu terselesaikan, kita tidak pula tahu
bagaimana kelanjutan kehidupan tokoh, atau tokoh-tokoh, cerita itu.
Dan karena jumlah tokoh terbatas, peristiwanya singkat, waktu berlangsungnya
tidak begitu lama, kata-kata yang dipakai harus hemat, tepat dan padat, maka
–diatara karakteristik cerpen- tempat kejadiannya pun juga terbatas, berkisar
1-3 tempat saja.
Perlu ditegaskan bahwa cerpen bukan penggalan sebuah novel. BUKAN PULA sebuah
novel yang dipersingkat. Cerpen itu adalah sebuah cerita rekaan yang lengkap:
tidak ada, tidak perlu, dan harus tidak ada tambahan lain. Cerpen adalah sebuah
genre atau jenis, yang berbeda dengan novel.
Namun demikian, sebuah cerpen meskipun singkat tetap harus mempunyai tikaian
dramatik, atau dalam bahasa The Liang Gie konflik dramatik, yaitu perbenturan
kekuatan yang berlawanan. Baik benturan itu terlihat nyata ataupun tersamarkan.
Sebab inilah inti suatu cerpen.
III. Unsur-Unsur Dalam Sebuah Cerpen
1. Tema
Yaitu gagasan inti. Dalam sebuah cerpen, tema bisa disamakan dengan pondasi
sebuah bangunan. Tidaklah mungkin mendirikan sebuah bangunan tanpa pondasi.
Dengan kata lain tema adalah sebuah ide pokok, pikiran utama sebuah cerpen;
pesan atau amanat. Dasar tolak untuk membentuk rangkaian cerita; dasar tolak
untuk bercerita.
Tidak mungkin sebuah cerita tidak mempunyai ide pokok. Yaitu sesuatu yang
hendak disampaikan pengarang kepada para pembacanya. Sesuatu itu biasanya
adalah masalah kehidupan, komentar pengarang mengenai kehidupan atau pandangan
hidup si pengarang dalam menempuh kehidupan luas ini. Pengarang tidak dituntut
menjelaskan temanya secara gamblang dan final, tetapi ia bisa saja hanya
menyampaikan sebuah masalah kehidupan dan akhirnya terserah pembaca untuk
menyikapi dan menyelesaikannya.
Secara tradisional, tema itu bisa dijelaskan dengan kalimat sederhana, seperti:
1. Kejahatan pada akhirnya akan dikalahkan oleh kebaikan. 2. Persahabatan
sejati adalah setia dalam suka dan duka. 3. Cinta adalah energi kehidupan,
karena itu cinta dapat mengatasi segala kesulitan. Dan lain sebagainya.
Cerpen yang baik dan besar biasanya menyajikan berbagai persoalan yang
kompleks. Namun, selalu punya pusat tema, yaitu pokok masalah yang mendominasi
masalah lainnya dalam cerita itu. Misalnya cerpen “Salju Kapas Putih” karya
Satyagraha Hoerip. Cerpen ini melukiskan pengalaman “aku” di negeri asing
dengan baik sekali, tetapi secara tajam cerpen ini menyorot masalah moral.
Tokoh “aku” dapat bertahan dari godaan berbuat serong karena pertimbangan
moral.
2. Alur atau Plot
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek
tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot
adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau
rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu. Rancangan tentang tujuan itu
bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan
itulah plot.
Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto-
sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam
menghadirkan ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum
sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi
menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita
Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan
arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati
karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian
ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami.
Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca.
Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen
Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio
Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca,
namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di
telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar
Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de
Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan
lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati
karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan
di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot
tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan
cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan
cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
3. Penokohan
Yaitu penciptaan citra tokoh dalam cerita. Tokoh harus tampak hidup dan nyata
hingga pembaca merasakan kehadirannya. Dalam cerpen modern, berhasil tidaknya
sebuah cerpen ditentukan oleh berhasil tidaknya menciptakan citra, watak dan
karakter tokoh tersebut. Penokohan, yang didalamnya ada perwatakkan sangat
penting bagi sebuah cerita, bisa dikatakan ia sebagai mata air kekuatan sebuah
cerita pendek.
Pada dasarnya sifat tokoh ada dua macam; sifat lahir (rupa, bentuk) dan sifat
batin (watak, karakter). Dan sifat tokoh ini bisa diungkapkan dengan berbagai
cara, diantaranya melalui:
1. Tindakan, ucapan dan pikirannya
2. Tempat tokoh tersebut berada
3. Benda-benda di sekitar tokoh
4. Kesan tokoh lain terhadap dirinya
5. Deskripsi langsung secara naratif oleh pengarang
4. Latar atau Setting
yaitu segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana dalam suatu cerita.
Pada dasarnya, latar mutlak dibutuhkan untuk menggarap tema dan plot cerita,
karena latar harus bersatu dengan teman dan plot untuk menghasilkan cerita
pendek yang gempal, padat, dan berkualitas. Kalau latar bisa dipindahkan ke
mana saja, berarti latar tidak integral dengan tema dan plot. Cerpen saya,
Bayi-bayi Tertawa yang mengambil setting khas Palestina, dengan watak, budaya,
emosi, kondisi geografi yang sangat khas Palestina tentu akan menjadi lucu jika
settingnya dipindah di Ponorogo. Jelas bahwa setting akan sangat menentukan
watak dan karakter tokoh.
5. Sudut Pandangan Tokoh
Diantara elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek
adlaah sudah pandangan tokoh yang dibangun sang pengarang. Sudut pandangan
tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan
tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pangan ini sangat erat dengan teknik
bercerita.
Sudut pandangan ini ada beberapa jenis, tetapi yang umum adalah:
1. Sudut pandangan orang pertama. Lazim disebut point of view orang pertama.
Pengarang menggunakan sudut pandang “aku” atau “saya”. Di sini yang harus
diperhatikan adalah pengarang harus netral dengan “aku” dan “saya”nya.
2. Sudut pandang orang ketiga, biasanya pengarang menggunakan tokoh “ia”, atau
“dia”. Atau bisa juga dengan menyebut nama tokohnya; “Aisha”, “Fahri”, dan
“Nurul” misalnya.
3. Sudut pandang campuran, di mana pengarang membaurkan antara pendapat
pengarang dan tokoh-tokohnya. Seluruh kejadian dan aktivitas tokoh diberi
komentar dan tafsiran, sehingga pembaca mendapat gambaran mengenai tokoh dan
kejadian yang diceritakan. Dalam “Sekelumit Nyanyian Sunda” Nasjah Djamin
sangat baik menggunakan teknik ini.
4. Sudut pandangan yang berkuasa. Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan
si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang
berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok
untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang
menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan
berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
IV. Anatomi Cerita Pendek
Setelah mengerti betul definisi cerpen, karakteristik cerpen dan unsur-unsur
yang wajib ada dalam membangun cerpen, maka sejatinya Anda sudah sangat siap
untuk menciptakan sebuah cerpen. Sebelum menulis cerpen ada baiknya anda
mengetahui anatomi cerpen atau bisa juga disebut struktur cerita. Umumnya
anatomi cerpen, apapun temanya, di manapun settingnya, apapun jenis sudut
pandangan tokohnya, dan bagaimanapun alurnya memiliki anatomi sebagai berikut:
1. Situasi (pengarang membuka cerita)
2. Peristiwa-peristiwa terjadi
3. Peristiwa-peristiwa memuncak
4. Klimaks
5. Anti Klimaks
Atau, komposisi cerpen, sebagaimana ditandaskan H.B.Jassin dapat dikatakan
sebagai berikut:
1. Perkenalan
2. Pertikaian
3. Penyelesaian
Cerpen yang baik adalah yang memiliki anatomi dan struktur cerita yang
seimbang. Kelemahan utama penulis cerpen pemula biasanya di struktur cerita
ini. Helvy Tiana Rosa selama menjadi pimred Annida dan melihat kelemahan mereka
itu dan berkomentar,
“Cerpenis-cerpenis pemula biasanya kurang memperhatikan proporsionalitas
struktur cerita. Banyak di antara mereka yang berpanjang-panjang ria dalam
menulis pembukaan cerpennya. Mereka menceritakan semua, seolah takut para
pembaca tak mengerti apa yang akan atau sedang mereka ceritakan. Akibatnya
sering satu sampai dua halaman pertama karya mereka masih belum jelas akan
menceritakan tentang apa. Hanya pengenalan dan pemaparan yang bertele-tele dan
membosankan. Konflik yang seharusnya dibahas dengan lebih jelas, luas dan
lengkap, sering malah disinggung sambil lalu saja. Pengakhiran konflik pun
dibuat sekedarnya. Tahu-tahu sudah penyelesaian. Padahal inti dari cerpen
adalah konflik itu sendiri. Jadi jangan sampai pembukaan cerpen menyamai
apalagi sampai menelan konflik tersebut.”
V. Agar Sebuah Cerpen Memiliki Daya Pikat
Agar cerpen ada memikat pembaca, trik-trik berikut ini bisa dipertimbangkan
baik-baik:
1. Carilah ide cerita yang menarik dan tidak klise. Mengulang ide cerita
semisal “Bawang Merah dan Bawang Putih” adalah pilihan yang kurang tepat,
karena akan tampak sangat klise dan menjadi tidak menarik pembaca.
2. Buatlah lead, paragraf awal dan kalimat penutup cerita yang semenarik
mungkin. Alinea awal dan alinea akhir sangat mementukan keberhasilan sebuah
cerpen. Alinea awal berfungsi menggiring pembaca untuk menelusuri dan masuk
dalam cerita yang dibacanya. Sedangkan kalimat akhir adalah kunci kesan yang
disampaikan pengarang. Kunci kesan ini sangat penting, karena cerpen yang
memberikan kesan yang mendalam di hati pembacanya, akan selalu dikenang.
3. Buat judul cerita yang bagus dan menarik. Sebagaimana buku, cerita yang
bagus tidak semuanya dibaca orang. Salah satu penyebabnya adalah kalimat
pembuka yang buruk dan judul yang mati, tidak menggugah rasa ingin tahu
pembacanya. M. Fauzil Adhim dalam bukunya Dunia Kata menjelaskan beberapa hal
yang seyogyanya diperhatikan dalam menulis judul:
Pertama, judul sebaiknya singkat dan mudah diingat.
Kedua, judul harus mudah diucapkan. Dan yang ketiga, kuat maknanya.
4. Perhatikan teknik penceritaan. Teknik yang digunakan pengarang menyangkut
penokohan, penyusunan konflik. pembangunan tegangan dan penyajian cerita secara
utuh. Jangan sampai pembaca sudah jenuh di awal cerita. Untuk menghindari
kejenuhan pembaca di awal cerita bisa kita gunakan teknik:
-in medias res (memulai cerita dari tengah)
-flash back (sorot balik, penyelaan kronologis)
Anton Chekov menyarankan : “Lipat dualah halaman pertama cerpenmu, lalu robek
dua dan buang sobekan yang sebelah atas.”
5. Buatlah suspense, kejutan-kejutan yang muncul tiba-tiba (bedakan dengan
faktor kebetulan), jangan terjebak pada cerita yang bertele-tele dan mudah
ditebak.
6. Cerpen harus mengandung kebenaran, keterharuan dan keindahan. Elizabeth
Jolley, mengatakan, “Saya berhati-hati agar tidak membuat kesalahan. Sungai
saya tidak pernah mengalir ke hulu.”Gabriel Garcia Marquez, sastrawan besar
dari Kolumbia yang meraih novel itu berkata, “Pujian terbesar untuk karya saya
tertuju kepada imajinasi, padahal tidak satu pun baris dalam semua karya saya
yang tidak berpijak pada kenyataan.”
7. Ingat bahwa setiap pengarang mempunyai gaya khas. Pakailah gaya sendiri,
jangan meniru. Gunakan bahasa yang komunikatif. Hindari gaya berlebihan dan
kata-kata yang terlalu muluk.
8. Perhatikan setiap tanda baca dan aturan berbahasa yang baik, tetapi tetap
tidak kaku. Jangan bosan untuk membaca dan mengedit ulang cerpen yang telah
anda selesaikan.
Akhirnya, saat Anda berniat menggoreskan pena menulis cerpen ingatlah pesan
J.K. Rowling, siapa tahu ada manfaatnya, Mulailah menulis apa saja yang kamu
tahu. Menulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Lalu saat menulis
cerpen ingat pesan Edgar Allan Poe, agar cerpenmu berbobot, Dalam cerpen tak
boleh ada satu kata pun yang terbuang percuma, harus punya fungsi, tujuan dalam
komposisi keseluruhan.
Selamat menulis cerpen!
Post a Comment